Vie Mariana


Kemandirian setelah menikah itu sudah menjadi prioritas utama ketika kita memutuskan akan menikah.
Orang tua yang kaya raya atau warisan yang melimpah itu bukan ekspetasi utama untuk pernikahan seorang pasangan.
Namun, kemandirian itu bukan suatu alasan yang bisa dijadikan alasan "belum mampu" untuk mengambil keputusan ketika kita akan menikah. Atau sekedar mimpi, target hidup atau hal lainnya.
Menikah itu adalah komitmen, kepada diri sendiri, Tuhan dan pasangan.
Karena Tuhan sudah menjajikan banyak hal bagi mereka yang akan menikah.
Kembali lagi dengan konsep kemandirian setelah menikah,
Saya pernah mendapat sebuah pesan, dan pesan itu masih sangat saya ingat baik-baik dan Insya Allah akan saya warisakan kepada anak-anak saya kelak mereka dewasa nanti.
Tentang perjalanan setelah menikah, tentang memilih pendamping hidup.

"jika ada nilai dari 1 sampai 10 untuk menjadi pasangan kamu kelak, maka pilihlah nilai 6 atau 7. dan capailah angka 10 tersebut bersama-sama dengan pasangan kamu"

Simpel, namun Subhanallah sekali makna nya. Perjalanan panjang akan dimulai, dan hidup yang sebenarnya berbekal niat untuk ibadah karena Allah akan siap di implementasikan dalam kehidupan setelahnya. Ya, setelah kata "sah" untuk hubungan itu. Dengan selalu mengingat janji-janji Allah. Bissmillah semua akan berjalan, bukan akan tapi pasti. Apapun itu jalannya.
Kemandirian akan menjadi pondasi kuat untuk menjadikan keutuhan prinsip rumah tangga. Tanpa campur tangan pihak ketiga, termasuk orang tua.
Bukan untuk menyombong, bukan untuk merasa sudah paling mampu. Namun dalam konteks ini, semua adalah pembelajaran. Dan harus diawali dengan belajar.
karena kemandirian setelah menikah itu adalah kemandirian bersama pasangan. Kemandirian antara pola berpikir kita dengan pasangan. Sudah searah kah? sudah sependapat kah? atau masih bercabang dan belum bisa disatukan?



Mungkin permasalahan yang akan terjadi adalah ketika prinsip pribadi yang kita punya, ternyata jauh bertolak belakang dengan prinsip pasangan kita. Mungkin kita menjadi orang yang berada dalam posisi seseorang yang punya pendapat tentang kemandirian yang mutlak. Mungkin juga kita ternyata menjadi sesorang yang belum ingin mandiri karena berbagai maksud, niat dan mungkin adat istiadat.
 Menyikapi pada setiap pola fikir individu itu tidak mudah, namun memahami maksud atau setidak nya mencoba mengerti maksud pasangan itu adalah kunci utama ketika kita sudah mempunyai pasangan hidup.
Bukan memaksakan, bukan merasa memiliki pendapat paling benar.Yang pasti, selalu ada niat yang baik dalam setiap maksud yang diutarakan oleh pasangan kita.

Kemandirian setelah menikah itu bukan hanya hunian rumah, namun pola pikir dan sikap. Belajar untuk mandiri itu mungkin bisa dijadikan syarat utama ketika kita memutuskan untuk menikah. Karena ternyata kemandirian yang tulus, akan menjadikan berkah bagi setiap pasangan-pasangan Allah untuk melanjutkan perjalanan mereka.

Haruskah ada tekanan? atau mungkin lebih bijak nya adalah semangat. Semangat untuk mandiri karena ingin mengatur keluarga dengan baik. Sang Maha Kaya, Sang Maha Bijaksana.. Allah akan berbicara ketika hal yang serba salah menghampiri kita.

" aku ingin mempunyai sebuah rumah yang nyaman, yang di dalam nya hanya ada aku, kamu, dan anak-anak kita nanti"

:) ya, itulah tulisan tulisan seorang gadis yang ditujukan untuk kekasihnya sewaktu mereka belum menikah. Mungkin itu adalah kamuflase dari maksud penting nya kemandirian setelah menikah.
Mandiri dalam pola berpikir, istilah jawa nya mungkin "njagakke" atau menggantungkan sesuatu kepada orang lain. itu bukan mandiri, kemandirian itu berdiri sendiri, tanpa campur tangan orang lain. 'Just you and me'.
Ketika sepasang manusia sudah memutuskan untu menikah, maka sudah seharusnya mereka memikirkan tentang kemandirian dalam mengatur rumah tangga nya. Tidak mudah mengatur jalan yang bercabang, begitu juga mengatur pola pikir 2 manusia yang berbeda, namun seperti minyak dan air, mereka tidak bisa dipersatukan, namun bisa hidup berdampingan.

Hidup setelah menikah bersama orang tua, tak akan lepas dari campur tangan orang tua. Tentang bagaimana mengurus istri atau suami, tentang bagaimana mengatur pola masak, tentang apa yang dilarang dan apa yang diperbolehkan. Tentang rasa takut mengecewakan, padahal tidak sesuai kata hati.
Ingin menghargai orang tua, namun hati lain berkata "ini bukan mauku".

Dan ketika itulah yang bisa disebut dengan orang tua yang belum percaya melepas anak nya, untuk menata kehidupan rumah tangga nya. Bukan salah mereka, karena mungkin pendapat mereka berkata tentang kemandirian terhadap diri sendiri yang masih di sangsi kan. Tapi semua haris di mulai mah, :) karena status yang sudah menjadikan ku istri atau suami orang.

Lalu bagaimana dengan keadaan ini? disitulah waktunya kemadirian pola berpikir digunakan. Tentang bagaimana kita bisa mengambil keputusan tanpa menyakiti siapapun.  Berpikir tentang bagaimana, dan apa yang akan terjadi. Tentang berpikir yang harus di mulai dari banyak sudut dan sisi. Tapi tenang, semua berjalan seperti air yang mengalir. Pola berpikir dan kedewasaan itu akan tumbuh, tapi bukan dengan sendiri nya, melainkan bagaimana kita mengasah dan menggunakan nya.

Untuk yang akan menikah, selamat menjemput janji-janji Allah. Semoga kemandirian akan segera menghampiri dalam keadaan yang baik menurut Nya. :)